Posted by : Ivan X-Ray Thursday, October 24, 2013

     Banyak kisah masjid agung di Indonesia yang konon dibangun hanya semalam. Namun Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Cirebon, mungkin memang dibangun hanya semalam. Lihat saja langsung, siapa tau andapun langsung percaya.

     Majid Agung Cipta Rasa (Masjid Kasepuhan) hanya dibangun dalam waktu semalam ? Mustahil ? Tidak juga. Jika melihat sejarahnya, yang pertama dibangun adalah bangunan utamanya dengan tiang-tiang besar yang disetel dengan pasak, tanpa paku. Ivan X-Ray (ane), seorang wisatawan yang berkunjung dengan teman-temannya, termasuk yang percaya kalau ini adalah kejeniusan Sunan Kalijaga sehingga masjid ini selesai dalam semalam.

     Menurut ane di Masjid Agung Kasepuhan kan tiangnya disambung-sambung dengan pasak, kalau istilah sekarang ini namanya bangunan knock down. Dirakitnya kan cepat, mungkin saja memang dibangun dalam semalam.

     Nah, salah satu tiang yang terkenal di masjid ini disebut Saka Tatal, di sudut Selatan teras masjid yang asli. Bisa dibilang ini adalah ciri khas Sunan Kalijaga dalam membangun masjidnya. Dia menyambung potongan-potongan tiang (tatal-red) dan mengikatnya dengan lempeng besi menjadi satu tiang baru. Saka Tatal mengandung filosofi persatuan bangsa.


Saka Tatal


     Warisan jejak peninggalan ajaran dan pandangan hidup sembilan wali penyebar agama Islam di Jawa (Wali Songo) ternyata masih dapat dijumpai di Masjid Agung Sang Cipta Rasa atau lebih dikenal dengan sebutan Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat.

     Masjid yang memiliki nama lain Masjid Agung Cirebon ini dibangun pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) ketika memimpin Kesultanan Cirebon pada tahun 1498 (Abad 15). Masjid ini terletak di Jalan Jagasatru, Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Letaknya berseberangan dengan Keraton Kasepuhan Cirebon membuat masjid ini mudah ditemukan.

     Berdasarkan catatan Keraton Kasepuhan Cirebon, masjid ini dibangun pada tahun 1422 Saka atau 1500 Masehi. Pemimpin pembangunan masjid adalah Sunan Kalijaga dengan arsitek Raden Sepat serta melibatkan 500 orang pekerja dari Cirebon, Demak, dan Majapahit.

     Raden Sepat, seorang arsitek Kerajaan Majapahit yang menjadi tahanan perang Kerajaan Demak, merancang bangunan masjid bersejarah ini diatas tanah seluas 400 meter persegi (20 x 20 meter) berdenah bujur sangkar dengan kemiringan 30° arah barat laut. Arsitektur bangunan masjid ini bercorak akulturasi budaya Hindu, Jawa, dan Cina. Hal ini bisa kita lihat dari bangunan pagar yang berbentuk punden berundak ala Hindu, atas tumpuk khas Jawa, dan hiasan keramik dari Cina. Akulturasi arsitektur ini membuktikan secara tegas bahwa di masa pemerintahan Sunan Gunung Jati memimpin Kesultanan Cirebon, tidak terdapat perbedaan budaya yang cukup mencolok. Toleransi dan tenggang rasa menjadi ciri khas rakyat Cirebon kala itu.



Bagian Depan Masjid Agung Kasepuhan



Serambi Masjid



     Salah satu keunikan masjid ini adalah pintu utama terbuat dari kayu jati berornamen kaligrafi yang terletak di sebelah timur. Pintu ini dibuka hanya pada waktu shalat hari raya atau perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sehari-hari para jama’ah dan peziarah bisa masuk ke ruang utama melalui 8 pintu lain disebelah selatan dan utara dengan ukuran lebih kecil, 150 x 25 cm. Dengan ukurannya yang kecil, orang dewasa dipastikan harus membungkukkan badan saat melaluinya. Kecilnya pintu ini memiliki makna bahwa kita tidak diperkenankan sombong saat beribadah di rumah Allah. Sembilan pintu masuk Masjid Kasepuhan ini juga melambangkan sembilan wali.
Ini dia salah satu fotonya
:

Bagian Depan Masjid Agung Kasepuhan


Mimbar Masjid


     Keunikan Masjid Agung Kasepuhan semakin lengkap begitu adzan shalat Jum’at berkumandang memecahkan kesunyian disekitar kawasan Keraton Kasepuhan ini. Alunan adzan yang disebut adzan pitu ini dikumandangkan oleh 7 (tujuh) orang muadzin secara berbarengan. Alunan adzan tujuh orang muadzin secara serentak ini sudah berlangsung sejak abad 16 atau masa pemerintahan Sunan Gunung Jati. Para pelantun adzan pitu pun masih terus dilestarikan. Mereka dipilih oleh penghulu masjid dari masyarakat umum yang mengerti agama. Para muadzin ini umumnya masih keturunan muadzin sebelumnya.

Tempat Adzan Pitu berkumandang

     Sejak masa kekuasaan Kesultanan Cirebon hinga sekarang, masjid ini merupakan tempat shalat berjama’ah Sultan Cirebon dan keluarganya. Hal ini terlihat dari adanya 2 (dua) tempat khusus berpagar kayu jati berukuran 2,5 x 2,5 meter yang disediakan secara khusus untuk Sultan dan Keluarganya melaksanakan shalat.

Kami ditempat shalat berjama'ah untuk Sultan


     Bagi keluarga raja juga disediakan tempat wudhu khusus disisi utara masjid berbentuk bak air mirip gentong besar. Untuk tempat wudhu jama’ah para pengunjung tersedia mata air yang konon tidak pernah kering. Bahkan sejumlah masyarakat mempercayai bahwa mata air ini memiliki khasiat meyembuhkan berbagai penyakit.

Tempat wudhu khusus bagi keluara raja


     Meskipun masjid ini telah dipugar beberapa kali, namun sebagian besar bangunannya masih asli. Termasuk juga tiang-tiang penyangga kayu jati berwarna coklat kehitaman yang dipugar pada tahun 1978. Yang jelas, mengunjungi masjid ini, kita seakan dibawa kembali ke romantisme jaman kejayaan Kesultanan Cirebon.


Adzan Pitu dan Pendekar Menjangan Wulung

     Asal mula adanya adzan pitu berawal dari kisah seorang pendekar jahat sakti mandraguna bernama Menjangan Wulung. Karena ketidaksukaanya terhadap penyebaran agama Islam di Tanah Cirebon, setiap menjelang waktu shalat, dia berdiri di kubah masjid untuk menyerang muadzin yang akan mengumandangkan adzan.

     Kehadiran pendekar Menjangan Wulung yang tiada tanding ini membuat sebagian umat Islam resah. Terlebih lagi, saat itu sudah 3 (tiga) muadzin yang meninggal berturut-turut secara misterius ketika mengumandangkan adzan. Menurut keterangan Khatib Agung Masjid Kasepuhan, Kyai Hasan, kematian ini dianggap aneh oleh warga masyarakat setempat. Bahkan mereka menduga peristiwa ini karena kekuatan ilmu hitam (bukan ketan hitam) Menjangan Wulung. Atas kejadian ini para Wali Songo pun menggelar musyawarah dan bersujud serta do’a kepada Allah untuk meminta petunjuk.

     Petunjuk dari Allah akhirnya datang kepada Sunan Kalijaga. Dia menitahkan agar melakukan adzan secara serentak oleh 7 (tujuh) muadzin sekaligus. Adzan ini dilakukan pada waktu masuk shalat Subuh. Ketika pertama kalinya adzan dikumandangkan oleh tujuh muadzin, terdengar suara ledakan keras dari kubah Masjid Kasepuhan. Tubuh Menjangan Wulung, sang pendekar jahat hancur berkeping-keping. Bahkan, kubah masjid pun sampai “terbang” terpental hingga ke Banten hingga kini memiliki 2 (dua) kubah. Sejak peristiwa itulah, Masjid Kasepuhan sampai saat ini tidak memiliki kubah sebagaimana masjid-masjid yang lain. Dan sejak itu pun masjid Kasepuhan terbebas dari pengaruh gaib yang menghalangi umat Islam untuk beribadah. Sampai sekarang Adzan Pitu masih tetap dilestarikan. Berbeda ketika Jaman Sunan Gunung Jati, Adzan Pitu saat ini hanya dilakukan pada adzan pertama disetiap shalat Jum’at

Salah satu pintu masuk ke ruang utama


Foto kami bersama Marbot Masjid Agung Kasepuhan


Bagian depan Masjid Agung Kasepuhan

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Powered By Blogger
ʎɐʁ-X ɴɐʌɪ. Powered by Blogger.

Translate X-Ray

Welcome to My Blog

Anda Pengunjung Ke


Wikipedia

Search results

Popular Post

Followers

About Me

My Photo
Facebook >> https://www.facebook.com/sancdu
"border="1"/>

- Copyright © 2013 Ivan X-Ray -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -